Nasionalisme secara konseptual memiliki makna yang beragam. Ada yang mengartikan nasionalisme sebagai (1) culturnation dan staatnation; (2) loyalitas (etnis dan nasional) dan keinginan menegakkan negara; (3) identitas budaya dan bahasa, dan sebagainya. Terminologi nasionalisme memiliki perbedaan dengan patriotisme, chauvinisme dan primordialisme. Patriotisme adalah sikap seseorang yang bersedia mengorbankan segala-galanya untuk kejayaan dan kemakmuran tanah airnya atau semangat cinta tanah air. Chauvinisme adalah paham (ajaran) cinta tanah air secara berlebih-lebihan. Meskipun demikian, antara nasionalisme, patriotisme dan chauvinisme sama-sama berkaitan dengan paham cinta tanah air atau bangsa/negaranya dalam konteks lembaga negara bangsa (nation-state).
Diskursus tentang model Nasionalisme ideal nampaknya kini menjadi hal yang urgen untuk dibicarakan kembali. Khususnya dalam kontek keAcehan. Dalam sejarahnya, absennya keimanan dari rumusan nasionalisme di dunia Islam telah menimbulkan kritik dari sebagian tokoh Islam. Mereka meyakini bahwa hal ini menyebabkan lemahnya kesatuan dunia Islam. Ali Muhammad Naqvi, misalnya, menyatakan bahwa Islam tidak sesuai dengan nasionalisme karena keduanya berlawanan secara ideologis. Kriteria nasional sebagai basis bangunan komunitas ditolak Alquran, karena ia hanya bersifat nasional-lokal. Sementara Islam mempunyai tujuan universal. Alasan lain adalah spirit sekular dalam nasionalisme yang menghendaki pemisahan tegas antara agama dan politik (Naqvi dalam Dault, 2005:188).
Nasionalisme di Eropa bermula pada abad pertengahan. Kesadaran berbangsa—dalam pengertian nation-state—dipicu oleh gerakan Reformasi Protestan yang dipelopori oleh Martin Luther di Jerman (Dault, 2005:4). Di dunia Islam, munculnya nasionalisme diawali oleh gagasan pan-Islamisme yang telah berkembang sebelumnya dengan dipelopori oleh Al-Afghani. Dalam analisisnya, penyebab keruntuhan Islam dan kaum muslimin bukanlah kelemahan atau kekurangan internal kaum muslim, melainkan imperialisme agresif yang dilancarkan kristen Eropa, yang bertujuan untuk memperbudak kaum muslimin dan menghancurkan Islam.
Dalam kontek Aceh, manakala Nasionalisme oleh sebuah kelompok dimaknai sebagai emosi individu atau publik diatas satu landasan persaudaraan teritorial, golongan (chauvsitik), sejarah dimana golongan ini merasa lebih unggul, atau lebih Aceh dari kelompok atau lain yang berbeda demi target politis yang ingin dicapai. Efek dari nasionalisme semacam ini adalah timbulnya perpecahan yang menghancurkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Nasionalisme ke-Acehan semacam ini pada akhirnya juga menciptkan jurang dengan nasionalisme Islam yang dibangun atas dasar Iman dan Akidah.
Chauvistik
Melihat situasi politik terkini di Aceh, dimana Aceh seakan terbelah oleh pendukung calon independen dan yang menolaknya, nampaknya disini ada gelaja nasionalisme keAcehan yang telah salah kaprah karena nilai-nilai nasionalisme Islam tidak lagi melekat pada bangunan nasionalisme keAcehan tersebut. Ini terlihat dari adanya teriakan-teriakan pendukung Partai Aceh(PA) di gedung DPRA beberapa waktu lalu saat sidang tentang “Qanun Pemilukada”. Misalnya seperti ucapan: “Pue kon awak Aceh kah nyoeh?”. Atau bahkan kata-kata: “Kalian bukan orang Aceh” hanya karena prinsip politik yang berbeda. Begitu juga halnya dengan apa yang diperlihatkan oleh para politisi yang merasa partai mereka adalah wakil asli rakyat Aceh. Selebihnya mereka bukan orang Aceh meskipun jelas-jelas mereka seorang Muslim yang juga dilahirkan dan dibesarkan di Aceh, serta dari keturunan Aceh juga.
Nasionalisme semacam ini termasuk ke dalam ‘chauvistik karena merasa dirinyalah yang paling ‘Aceh’, paling berhak memimpin Aceh dan semua kelompok lain adalah musuh yang harus dilawan. Nasionalisme ini sesuai labelnya, berlandaskan pada semangat merampas hak-hak orang lain tanpa alasan yang benar. Spirit ini telah berkembang semenjak era jahiliyah dengan segala macam jenisnya. Dan dengan demikian Nasionalisme semacam ini bisa disebut sebagai nasionalisme ala kaum jahiliyah. Karena dibangun tidak atas dasar nilai-nilai Imam dan Akidah. Nasionalisme yang dibangun atas nilai-nilai Iman dan Akidah tidak akan membuat seseorang merasa dirinya lebih hebat dari orang lain, paling Aceh, paling berhak memimpin Aceh. Lebih-lebih, jika nasionalisme keAcehan tersebut muncul dengan target politis yang tidak mengakomodir kepentingan Islam. Rasulullah memberikan peringatan keras bagi nasionalisme model ini: ““Bukan termasuk Ummatku orang yang mengajak pada Ashabiyah(Chauvitisme),dan bukan termasuk ummatku orang yang berperang atas dasar Ashabiyah, dan bukan termasuk ummatku orang yang mati atas dasar Ashabiyah.“(HR.Abu Dawud).
Imam Hasan Al-Banna juga memberikan warning tegas terhadap prinsip nasionalisme seperti model yang dianut oleh kaum jahiliyyah. Arah dan maksud para penyeru nasionalisme semacam ini adalah upaya menghidupkan kembali semangat-semangat jahiliyyah yang telah dibumihanguskan oleh Islam, seperti semangat fanatisme kesukuan, sikap sombong dan merasa lebih dari orang lain, kendati mereka Muslim, menyerukan kembali kepada nilai-nilai jahiliyyah dan sebagai ganti dari nilai-nilai keimanan dan etika-etika Islam yang mulia(Fikih Politik Menurut Imam Hasan Al-Banna, Dr. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris: 1999).
Nasionalisme Islam ke-Acehan
Nasionalisme Islam sejatinya juga menghimpun nasionalisme keAcehan. Sebab, cinta kepada tanah air juga merupakan ajaran Islam. Namun, cinta kepada tanah air ini jangan justru menjadikan kita sebagai umat Islam menjadi terpecah belah.Nasionalisme Islam berbasis pada iman dan akidah, bukan hanya geografis, partai, bahasa maupun etnis. Karenanya nasionalisme Islam bermakna luas, tidak sempit. Islam mendukung nasionalisme bila ia berdampak pada kemaslahatan ummat. Sedangkan unsur negatif dari nasionalisme (ekstrim) ditolak oleh Islam. Ciri-ciri nasionalisme dalam pandangan Islam sesuai pemikiran Al-Banna, yakni: Pertama, bangga dengan penisbatan dalam hal nasionalisme dan sejarah, serta penapaktilasan salafusaleh oleh generasi muda. Kedua, skala prioritas perhatian nasionalisme pada lahirnya kebajikan untuk semua. Ketiga, memerangi kebanggaan atas etnis, kebangsaan, dan trandisi jahiliah. Keempat, fokus nasionalisme kita pada loyalitas yang utuh kepada Allah swt, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman(Abdul Hamid Al-Ghazali, 200: 2001).
Jadi, Nasionalisme Islam ke-Acehan adalah Nasionalisme yang tidak chauvistik (ashabiyah) dan juga tidak menyebabkan masyarakat Aceh terkotak-kotak, merupakan nasionalisme kemanusiaan yang menyerap dan menampung seluruh jenis manusia dari suku bangsa, warna kulit, negara asal manapun dengan ikatan akidah dan tanpa membedak-bedakan diantara mereka. Karena ikatan dan hubungan aqidah lebih kokoh dibanding ikatan darah, keluarga, kepentingan dan wilayah geografis tertentu. Hal itu bisa terjadi karena hubungan akidah memberikan kesempatan bagi semua jenis bangsa manusia tergabung dalam satu ikatan “Umat Islam” yang sangat manusiawi. Sehingga diantara mereka tidak terjadi saling sikut, saling fitnah, saling hadang menghadang hanya demi segopoh kekuasaan atau target politis yang tidak abadi. Wallahu bi al-Sawab.Teuku Zulkhairi | Mahasiswa Pascasarjana IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Ketua Departemen Riset dan Pengembangan Organisasi Rabithat Thaliban Aceh (RTA).
Diskursus tentang model Nasionalisme ideal nampaknya kini menjadi hal yang urgen untuk dibicarakan kembali. Khususnya dalam kontek keAcehan. Dalam sejarahnya, absennya keimanan dari rumusan nasionalisme di dunia Islam telah menimbulkan kritik dari sebagian tokoh Islam. Mereka meyakini bahwa hal ini menyebabkan lemahnya kesatuan dunia Islam. Ali Muhammad Naqvi, misalnya, menyatakan bahwa Islam tidak sesuai dengan nasionalisme karena keduanya berlawanan secara ideologis. Kriteria nasional sebagai basis bangunan komunitas ditolak Alquran, karena ia hanya bersifat nasional-lokal. Sementara Islam mempunyai tujuan universal. Alasan lain adalah spirit sekular dalam nasionalisme yang menghendaki pemisahan tegas antara agama dan politik (Naqvi dalam Dault, 2005:188).
Nasionalisme di Eropa bermula pada abad pertengahan. Kesadaran berbangsa—dalam pengertian nation-state—dipicu oleh gerakan Reformasi Protestan yang dipelopori oleh Martin Luther di Jerman (Dault, 2005:4). Di dunia Islam, munculnya nasionalisme diawali oleh gagasan pan-Islamisme yang telah berkembang sebelumnya dengan dipelopori oleh Al-Afghani. Dalam analisisnya, penyebab keruntuhan Islam dan kaum muslimin bukanlah kelemahan atau kekurangan internal kaum muslim, melainkan imperialisme agresif yang dilancarkan kristen Eropa, yang bertujuan untuk memperbudak kaum muslimin dan menghancurkan Islam.
Dalam kontek Aceh, manakala Nasionalisme oleh sebuah kelompok dimaknai sebagai emosi individu atau publik diatas satu landasan persaudaraan teritorial, golongan (chauvsitik), sejarah dimana golongan ini merasa lebih unggul, atau lebih Aceh dari kelompok atau lain yang berbeda demi target politis yang ingin dicapai. Efek dari nasionalisme semacam ini adalah timbulnya perpecahan yang menghancurkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Nasionalisme ke-Acehan semacam ini pada akhirnya juga menciptkan jurang dengan nasionalisme Islam yang dibangun atas dasar Iman dan Akidah.
Chauvistik
Melihat situasi politik terkini di Aceh, dimana Aceh seakan terbelah oleh pendukung calon independen dan yang menolaknya, nampaknya disini ada gelaja nasionalisme keAcehan yang telah salah kaprah karena nilai-nilai nasionalisme Islam tidak lagi melekat pada bangunan nasionalisme keAcehan tersebut. Ini terlihat dari adanya teriakan-teriakan pendukung Partai Aceh(PA) di gedung DPRA beberapa waktu lalu saat sidang tentang “Qanun Pemilukada”. Misalnya seperti ucapan: “Pue kon awak Aceh kah nyoeh?”. Atau bahkan kata-kata: “Kalian bukan orang Aceh” hanya karena prinsip politik yang berbeda. Begitu juga halnya dengan apa yang diperlihatkan oleh para politisi yang merasa partai mereka adalah wakil asli rakyat Aceh. Selebihnya mereka bukan orang Aceh meskipun jelas-jelas mereka seorang Muslim yang juga dilahirkan dan dibesarkan di Aceh, serta dari keturunan Aceh juga.
Nasionalisme semacam ini termasuk ke dalam ‘chauvistik karena merasa dirinyalah yang paling ‘Aceh’, paling berhak memimpin Aceh dan semua kelompok lain adalah musuh yang harus dilawan. Nasionalisme ini sesuai labelnya, berlandaskan pada semangat merampas hak-hak orang lain tanpa alasan yang benar. Spirit ini telah berkembang semenjak era jahiliyah dengan segala macam jenisnya. Dan dengan demikian Nasionalisme semacam ini bisa disebut sebagai nasionalisme ala kaum jahiliyah. Karena dibangun tidak atas dasar nilai-nilai Imam dan Akidah. Nasionalisme yang dibangun atas nilai-nilai Iman dan Akidah tidak akan membuat seseorang merasa dirinya lebih hebat dari orang lain, paling Aceh, paling berhak memimpin Aceh. Lebih-lebih, jika nasionalisme keAcehan tersebut muncul dengan target politis yang tidak mengakomodir kepentingan Islam. Rasulullah memberikan peringatan keras bagi nasionalisme model ini: ““Bukan termasuk Ummatku orang yang mengajak pada Ashabiyah(Chauvitisme),dan bukan termasuk ummatku orang yang berperang atas dasar Ashabiyah, dan bukan termasuk ummatku orang yang mati atas dasar Ashabiyah.“(HR.Abu Dawud).
Imam Hasan Al-Banna juga memberikan warning tegas terhadap prinsip nasionalisme seperti model yang dianut oleh kaum jahiliyyah. Arah dan maksud para penyeru nasionalisme semacam ini adalah upaya menghidupkan kembali semangat-semangat jahiliyyah yang telah dibumihanguskan oleh Islam, seperti semangat fanatisme kesukuan, sikap sombong dan merasa lebih dari orang lain, kendati mereka Muslim, menyerukan kembali kepada nilai-nilai jahiliyyah dan sebagai ganti dari nilai-nilai keimanan dan etika-etika Islam yang mulia(Fikih Politik Menurut Imam Hasan Al-Banna, Dr. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris: 1999).
Nasionalisme Islam ke-Acehan
Nasionalisme Islam sejatinya juga menghimpun nasionalisme keAcehan. Sebab, cinta kepada tanah air juga merupakan ajaran Islam. Namun, cinta kepada tanah air ini jangan justru menjadikan kita sebagai umat Islam menjadi terpecah belah.Nasionalisme Islam berbasis pada iman dan akidah, bukan hanya geografis, partai, bahasa maupun etnis. Karenanya nasionalisme Islam bermakna luas, tidak sempit. Islam mendukung nasionalisme bila ia berdampak pada kemaslahatan ummat. Sedangkan unsur negatif dari nasionalisme (ekstrim) ditolak oleh Islam. Ciri-ciri nasionalisme dalam pandangan Islam sesuai pemikiran Al-Banna, yakni: Pertama, bangga dengan penisbatan dalam hal nasionalisme dan sejarah, serta penapaktilasan salafusaleh oleh generasi muda. Kedua, skala prioritas perhatian nasionalisme pada lahirnya kebajikan untuk semua. Ketiga, memerangi kebanggaan atas etnis, kebangsaan, dan trandisi jahiliah. Keempat, fokus nasionalisme kita pada loyalitas yang utuh kepada Allah swt, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman(Abdul Hamid Al-Ghazali, 200: 2001).
Jadi, Nasionalisme Islam ke-Acehan adalah Nasionalisme yang tidak chauvistik (ashabiyah) dan juga tidak menyebabkan masyarakat Aceh terkotak-kotak, merupakan nasionalisme kemanusiaan yang menyerap dan menampung seluruh jenis manusia dari suku bangsa, warna kulit, negara asal manapun dengan ikatan akidah dan tanpa membedak-bedakan diantara mereka. Karena ikatan dan hubungan aqidah lebih kokoh dibanding ikatan darah, keluarga, kepentingan dan wilayah geografis tertentu. Hal itu bisa terjadi karena hubungan akidah memberikan kesempatan bagi semua jenis bangsa manusia tergabung dalam satu ikatan “Umat Islam” yang sangat manusiawi. Sehingga diantara mereka tidak terjadi saling sikut, saling fitnah, saling hadang menghadang hanya demi segopoh kekuasaan atau target politis yang tidak abadi. Wallahu bi al-Sawab.Teuku Zulkhairi | Mahasiswa Pascasarjana IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Ketua Departemen Riset dan Pengembangan Organisasi Rabithat Thaliban Aceh (RTA).
0 komentar