Setelah semalaman dalam perjalanan dari Duri, akhirnya pas azan shubuh berkumandang dari masjid maupun mushalla, mobil travel yang saya tumpangi memasuki pusat kota Payakumbuh.
Begitu melihat masjid Muhammadiyah yang terletak pas di sudut pertigaan jalan Sudirman dan jalan Bunian, saya minta turun kepada pengemudi. Saya di turunkan persis di depan pasar, sekitar 100 meter dari masjid.
Begitu turun dari mobil saya langsung di songsong oleh ojek yang langsung menawarkan jasanya, tapi karena tanggung untuk naik ojek untuk jarak sedekat itu, saya menolaknya sambil menunjuk masjid yang menjadi tujuan saya.
Dengan tas punggung di belakang dan tas kamera di bagian depan, serta satu kantong plastik di tentengan, saya berjalan menuju masjid. Sampai di masjid langsung mengambil wudhuk, setelah itu naik ke lantai dua masjid, dimana saat itu shalat subuh tengah berlangsung. Ketika saya bergabung dalam jama’ah, saya sudah ketinggalan satu rakaat.
Selesai shalat subuh kembali saya mengemasi barang bawaan. Keluar dan turun dari masjid, saya sejenak berdiri di halaman, melihat perkembangan masjid maupun lingkungan sekitarnya, sambil menerawang ke masa 40 tahun yang lalu, saat masjid itu masih berlantai satu dengan lantai yang masih kasar belum diberi keramik serta dinding yang sebagian masih kelihatan bata merahnya.
Setelah merasa cukup melihat keadaan sekitar masjid, saya lalu berjalan keluar dari pekarangan masjid, berbelok kekanan dan berjalan di trotoar, lalu sekitar duapuluh lima meter berbelok lagi ke kanan, masuk gang sepanjang 50 meter, lalu masuk pekarangan sebuah rumah. Itulah rumah “orang tua” saya, bila saya berada di Payakumbuh.
Ibu Darman, demikian nama “ibu” saya tersebut, di ambil dari nama almarhum suami beliau Dharmansyah Thaher, “ayah” saya yang telah dipanggil menghadap-Nya, beberapa tahun yang lalu.
Saya menuju paviliun di sayap belakang rumah, menggetok pintu sambil mengucapkan “Assalamu’alaikum…”
Pada ucapan salam kedua, pintu terbuka diiringi jawaban salam. Dari balik pintu muncul ibu Darman.
Berpisah 13 tahun setelah pertemuan terakhir lebaran tahun 1997, membuat ibu Darman agak pangling melihat saya. Sebagaimana biasa bila bertemu dengan kenalan yang berpisah cukup lama, saya tak langsung memperkenalkan diri.
Melihat kebingunan ibu Darman saya lalu tertawa, dan dari tawa sayalah beliau langsung menebak nama saya, lalu kemudian mengajak masuk rumah.
Dari paviliun kami langsung menuju ruang tamu di rumah induk. Setelah meletakkan barang bawaan, saya lalu ngobrol dengan ibu dengan di temani teh manis panas yang beliau hidangkan.
Dalam obrolan kami pagi itu, beliau bercerita bahwa anak-anak yang masih tinggal bersama beliau sekarang tinggal tiga putra beliau. Okdarul Sadli yang biasa dipanggil Del sebagai putra tertua, yang setelah isterinya meninggal kembali ke rumah bersama anaknya, serta Wira yang sampai saat ini masih membujang. Satu lagi Husnuzan, putra beliau yang lain tinggal bersama di rumah keluarga isterinya.
Mereka bertiga inilah yang meneruskan bisnis ayah mereka, percetakan Eleonora, yang telah berusia sekitar 50 tahun.
Setelah mengobrol cukup lama yang belakangan juga di temani Del, saya pamit untuk melihat situasi kota Payakumbuh yang telah 33 tahun saya tinggalkan, setelah terakhir saya sempat tinggali selama 6 bulan hingga akhir tahun 1977. Kalaupun saya sempat singgah di tahun-tahun setelah itu, hanyalah numpang lewat, atau singgah untuk semalam
Keluar dari rumah, di mulut gang saya belok kekanan, berjalan melewati jalan Sudirman. Matahari mulai memancarkan cahayanya, menghangatkan suasana pagi yang baru saja ditinggalkan embun malam. Suasana jalanan masih sepi, namun geliat kehidupan kota mulai kelihatan bergerak. Toko-toko satu persatu kelihatan mulai dibuka pemiliknya. Kendaraan umum angkutan kota satu persatu mulai memperlihatkan diri, membawa penumpang kearah tujuan masing-masing.
Dengan beragam kenangan yang menyeruak dari dalam dada, saya menyusuri jalan Sudirman yang pagi itu terlihat begitu lebar. Di sebelah kanan dengan halaman yang terhampar luas, berdiri dengan megah bangunan bergonjong, ciri khas bangunan rumah gadang Minangkabau. Itulah bekas kantor Bupati Kabupaten 50 Kota, yang kini telah beralih fungsi, sebagai kantor dinas, setelah Payakumbuh berkembang jadi Kotamadya.
Disebelah kiri jalan, itulah pusat pasar kota Payakumbuh. Seakan membelah pasar menjadi dua bagian, di tengahnya, dari arah barat ke timur membentang jalan Ahmad Yani. Di sisi barat, jalan ini bermuara di jalan Sudirman dan berhadapan langsung dengan gerbang Gonjong Limo, pintu gerbang bekas kantor Bupati 50 Kota. Sementara di timur, di kejauhan terlihat Gunung Sago sebagai latar belakang, seakan penjaga yang berdidri kokoh mengawal kota Payakumbuh.
Setelah mengambil beberapa foto, saya mencari outlet yang menjual voucher untuk telepon genggam saya, tapi tak satupun counter voucher yang saya temukan telah buka pagi itu.
Saya punya tiga agenda hari itu, yaitu: menemui keponakan saya yang tahun lalu menikah dengan gadis Payakumbuh, pergi ke Halaban di kaki gunung Sago Menyusuri jejak leluhur Winda Krisnadefa, dan terakhir singgah ke Panti Asuhan Aisyiyah-Muhammadiyah Payakumbuh di Labuah Basilang, atau tepatnya di Padang Tiakar, sekitar 500 meter dari Labuah Basilang. Tapi sebelum pergi menyusuri agenda saya, sarapan pagi lebih dahulu adalah jalan terbaik, rumah makan Asia Baru yang berlokasi di sudut pasar di jalan Sudirman, yang saya ketahui telah berusia lebih dari empat puluh tahun menjadi tujuan pertama saya.
Saya belum tahu dimana kampung istri keponakan saya Dafris, waktu saya telpon katanya segera akan datang. Tapi karena terasa agak lama menunggu, saya lalu mengirim sms bahwa saya akan pergi ke Halaban lebih dulu.
Dalam perjalanan menuju Halaban, saya tak langsung mencari kendaraan yang menuju kesana. Dari rumah makan Asia Baru, saya berjalan menuju jalan Ahmad Yani yang berjarak hanya sekitar seratus meteran.
Saya menyusuri jalan Ahmad Yani, sebuah jalan yang berpengaruh besar terhadap kemampuan membaca saya, yang di kelas 1 Sekolah Dasar mendapat nilai merah seperti halnya mata pelajaran yang lain, hingga saya tidak naik ke kelas dua.
Dengan sedikit mengancam tidak akan sekolah lagi kepada pimpinan panti asuhan dimana saya tinggal dan di asuh, akhirnya saya di masukkan kekelas dua, dengan cara pindah sekolah. Asrama kami yang tadinya di Bunian lalu pindah ke Labuah Basilang mendukung apa yang saya inginkan itu.
Perjalanan saya bolak-balik dari pasar ke asrama yang melewati jalan Ahmad Yani inilah yang membuat kemampuan membaca saya meningkat dengan pesat. Tanpa disadari, kebiasaan saya membaca setiap nama toko di sepanjang jalan antara Labuah Basilang hingga ke pasar itu, bagaikan arena pelatihan membaca saya yang sesungguhnya. Hingga akhirnya saya hafal semua nama toko dan urutannya di sepanjang jalan yang saya lewati itu.
Terminal baca saya terakhir adalah sebuah tempat tukang pangkas Sinamar yang terletak di jalan Karya. Tempat pangkas itu setiap hari berlangganan surat kabar Haluan yang terbit di Padang. Berawal hanya dari mengisi teka teki silang yang saya bacakan pertanyaan dan di jawab oleh si pemilik tempat pangkas yang bernama pak Darusan, yang kemudian saya isikan di TTS itu. Itu adalah awal kebiasaan saya membaca koran, hingga menjadi kecanduan.
Asyik berjalan sambil mengenang masa lalu, tanpa terasa saya telah sampai di jembatan Ratapan Ibu, satu kilometer dari bekas kantor Bupati.
Jembatan ini mempunyai sejarah yang panjang. Dimasa pembangunannya, ratusan pekerja tenaga rodi di kerahkan oleh Belanda. Di masa perang mempertahankan kemerdekaan 1949, jembatan ini menjadi saksi bisu kekejaman Belanda. Mayat-mayat para pejuang yang tewas dalam perang mempertahankan kemerdekaan, di buang oleh Belanda kedalam Batang Agam, nama sungai yang mengalir dibawah jembatan ini. Dari peristiwa inilah maka jembatan ini dinamai Jembatan Ratapan Ibu
Namun beberapa puluh tahun setelah masa kemerdekaan, jembatan ini beralih fungsi menjadi arena basicontiak, bahasa daerah Payakumbuh untuk istilah berpacaran. Dengan berjalan kaki bagi yang tinggal di sekitar Labuah Basilang, Ibuah atau Nunang atau kampung lain di sekitar sana. Atau dengan bersepeda, bagi mereka yang tinggal agak berjauhan, sore menjelang malam. Di sekitar jembatan ini ramai dengan muda-mudi yang tengah memadu kasih. Kemudian bubar menghilang bila manggrib telah menjelang.
Saya terus berjalan melewati jembatan Ratapan Ibu ini, beberapa ratus meter kedepan saya sampai di Ibuah.
Sampai terakhir saya di Payakumbuh menjelang akhir tahun tujuh puluhan, dikiri kanan jalan yang saya lewati itu masih berupa pesawangan. Disana hanya ada sawah-sawah yang membentang, atau kebun-kebun penduduk sekitar.
Tapi saat ini, Ibuah telah berubah fungsi menjadi pasar induk sayur mayur yang cukup besar di Payakumbuh. Beberapa pohon mengkudu yang tumbuh di sisi jalan, yang dulu tempat beristirahat dari kepanasan bagi pejalan kaki, serta tempat mangkalnya tukang pangkas angin berembus. Alias tukang pangkas keliling yang bermodalkan bangku lipat, serta peralatan yang di bawa dalam tas. Kini tak ada lagi, kecuali sebatang beringin yang masih dibiarkan tersisa, sebagai warisan masa lalu.
Setelah melewati Pasar Ibuah, menjelang pendakian Labuah Basilang. Sayapun naik angkutan kota yang menuju Halaban. Setelah sebelumnya menanyakan pada tukang parkir di depan pasar Ibuah, angkutan kota yang mana yang menambang ke jurusan Halaban.
Begitu saya naik angkutan kota, perjalanan saya menyusuri jejak leluhur Winda Fitriani, alias Winda Krisnadefa pun dimulai…
0 komentar